Sulit untuk dilacak asal mula istilah Jawara itu. Karena banyak orang menduga dengan akronim yang bermacam-macam. Jawara berasal dari bahasa Sunda, dalam bahasa Jawa Serang (Banten) disebut Juwara (Juara). Dari bahasa Jawa Banten ini ada akronim juga; Juara = ana Jawa ana Ora. Jawa artinya berlaku atau berkelakuan baik (dewasa), ora Jawa = tidak berkelakuan baik (dewasa). Ana Jawa Ana Ora, artinya: kadang-kadang berkelakuan baik, dan kadang-kadang berkelakuan tidak baik. Juara (baca: Juare), dilambangkan sebagai satu sosok dengan dua karakter yang bisa tampil sesuai dengan pemicunya.
Dalam buku Kepemimpinan Kiyai dan Jawara di Banten, Jawara memang ada
kaitannya dengan Pesantren, Kiyai, dan Santri. Pesantren sendiri merupakan
kesinambungan dari tradisi Hindu. Ada tokoh agama/spiritual yang disebut Ajar
atau Pandita atau Ghuru. Ada murid yang disebut Sis-ya (Siswa), dan ada pondok
yang disebut Asrama atau Padepokan. Ghuru mengajarkan agama, kebatinan, dan
kanuragan (bela diri dan magis). Murid yang ada di padepokan belajar agama dan
kanuragan. Pada perkembangannya, ada murid yang berminat pada agama saja dan
dibina untuk menjadi Pandita. Ada juga murid yang menaruh minat pada kanuragan
saja dan dibina untuk menjadi Ksatria (Raja dan Pembantu Raja).
Pada zaman Islam, tradisi tersebut
teradopsi, lalu muncul Pesantren yang unsur-unsurnya meliputi: Kiyai, Santri,
dan Pondok. Kiyai merupakan sebutan guru yang mempunyaI kemampuan magis,
mengajar Santri di Pondok (Pesarntren) mengenai (ilmu-ilmu) agama dan kanuragan
(bela diri dan magis). Para Santri yang menjadi murid Kiyai itu ada yang
berminat pada bidang agama dan ada yang berminat pada bidang kanuragan. Untuk
minat yang terakhir inilah kemudian disebut Juara.
Pada zaman penjajahan, banyak Juara
yang dimanfaatkan oleh penjajah untuk menjadi Centeng. Rupanya dari situlah
citra Juara berubah.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa
kepemimpinan Kepala Desa (Jaro) dipegang oleh Jawara. Salah satu persyaratan
kepemimpinan Kades adalah mempunyai kelebihan berupa kewibawaan yang didapat
melalui kepemilikan “ilmu” kanuragan dan magis di mana kanuragan dan magis itu
didapati dari guru (kiyai). Istilah Kiyai merupakan sebutan orisinil terhadap
tokoh tersebut.
Untuk zaman sekarang (modern), bisa
jadi perpolitikannya modern, tetapi budaya politiknya masih tradisional. Karena
itu persoalannya bukan relevan atau tidak relevan, tetapi budaya politiknya
bisa berubah atau tidak.
Pada sejarah awalnya memang, apalagi
ketika orang Islam (Indonesia) menghadapi penjajah yang dicap kafir,
Juara/Jawara bersama-sama Santri disebut tentaranya Kiyai untuk menghadapi
penjajah.
Penguasaan terhadap Jawara sama
artinya dengan penguasaan terhadap bidang-bidang ekonomi, politik, dan bahkan
birokrasi. Penguasaan terhadap Ulama berarti penguasaan terhadap bidang-bidang
sosial dan kemasyarakatan.
Partai politik dimanfaatkan oleh
Jawara dan Jawara juga dimanfaatkan partai politik tertentu. Partai politik
tertentu itu kalau dulu (mungkin sekarang masih) adalah Golkar. Parpol memerlukan
dukungan massa, sedangkan Jawara dipandang sebagai massa efektif, baik pada
diri Jawara sendiri maupun terhadap penggalangan massa lainnya. Demikian pula
Jawara perlu uang melalui pekerjaan yang menjanjikan banyak uang. Pekerjaan
(uang) itu ada pada parpol sebagai kekuatan pemerintah. Untuk mendapatkan
pekerjaan (uang), dilakukan penguasaan pada pemerintah melalui melalui
penguasaan parpol.
Meski H.Tb.Chasan Shohib sebagai
ikon Jawara di Banten sudah meninggal, tetapi Jawara sebagai fenomena dan
komunitas sosial tidak akan ikut mati. Dalam kepemimpinannya pasti akan muncul
figur pemimpinnya, tetapi untuk menentukan siapanya,
dinamika sosial akan menyeleksinya, karena kepemimpinan seperti ini
ditentukan oleh perkembangan dan dinamika sosial.
Jawara sebagai fenomena dan dinamika
sosial, akan selalu ada karena ia merupakan “komunitas organik” di masyarakat.
Fisik akan berbeda, simbolnya mungkin akan berubah, tetapi makna-makna tampilan
fenomenanya tidak berubah. Bisa jadi orang (masyarakat) berharap mempunyai
pemimpin yang berhati ulama (cerdas, arif, bijak) dan sekaligus bersikap dan
bertindak jawara (tegas, berani, dan cepat). Ada juga orang berharap punya
pemimpin yang ulama sekaligus jawara, atau sebaliknya, sehingga yang demikian
itulah sebagai tipe pemimpin ideal.
Jika Jawara kembali pada akar
sejarahnya, maka ia menjadi ideal. Tetapi jika terjebak menjadi objek yang
dipermainkan, maka sejarahnya berputar menyalahi arah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar