Minggu, 07 Juli 2013

Jawara di Banten


Sulit untuk dilacak asal mula istilah Jawara itu. Karena banyak orang menduga dengan akronim yang bermacam-macam. Jawara berasal dari bahasa Sunda, dalam bahasa Jawa Serang (Banten) disebut Juwara (Juara). Dari bahasa Jawa Banten ini ada akronim juga; Juara = ana Jawa ana Ora. Jawa artinya berlaku atau berkelakuan baik (dewasa), ora Jawa = tidak berkelakuan baik (dewasa). Ana Jawa Ana Ora,  artinya: kadang-kadang berkelakuan baik, dan kadang-kadang berkelakuan tidak baik. Juara (baca: Juare), dilambangkan sebagai satu sosok dengan dua karakter yang bisa tampil sesuai dengan pemicunya.

Dalam buku Kepemimpinan Kiyai dan Jawara di Banten, Jawara memang ada kaitannya dengan Pesantren, Kiyai, dan Santri. Pesantren sendiri merupakan kesinambungan dari tradisi Hindu. Ada tokoh agama/spiritual yang disebut Ajar atau Pandita atau Ghuru. Ada murid yang disebut Sis-ya (Siswa), dan ada pondok yang disebut Asrama atau Padepokan. Ghuru mengajarkan agama, kebatinan, dan kanuragan (bela diri dan magis). Murid yang ada di padepokan belajar agama dan kanuragan. Pada perkembangannya, ada murid yang berminat pada agama saja dan dibina untuk menjadi Pandita. Ada juga murid yang menaruh minat pada kanuragan saja dan dibina untuk menjadi Ksatria (Raja dan Pembantu Raja). 

Pada zaman Islam, tradisi tersebut teradopsi, lalu muncul Pesantren yang unsur-unsurnya meliputi: Kiyai, Santri, dan Pondok. Kiyai merupakan sebutan guru yang mempunyaI kemampuan magis, mengajar Santri di Pondok (Pesarntren) mengenai (ilmu-ilmu) agama dan kanuragan (bela diri dan magis). Para Santri yang menjadi murid Kiyai itu ada yang berminat pada bidang agama dan ada yang berminat pada bidang kanuragan. Untuk minat yang terakhir inilah kemudian disebut Juara.

Pada zaman penjajahan, banyak Juara yang dimanfaatkan oleh penjajah untuk menjadi Centeng. Rupanya dari situlah citra Juara berubah.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kepemimpinan Kepala Desa (Jaro) dipegang oleh Jawara. Salah satu persyaratan kepemimpinan Kades adalah mempunyai kelebihan berupa kewibawaan yang didapat melalui kepemilikan “ilmu” kanuragan dan magis di mana kanuragan dan magis itu didapati dari guru (kiyai). Istilah Kiyai merupakan sebutan orisinil terhadap tokoh tersebut.
Untuk zaman sekarang (modern), bisa jadi perpolitikannya modern, tetapi budaya politiknya masih tradisional. Karena itu persoalannya bukan relevan atau tidak relevan, tetapi budaya politiknya bisa berubah atau tidak.

Pada sejarah awalnya memang, apalagi ketika orang Islam (Indonesia) menghadapi penjajah yang dicap kafir, Juara/Jawara bersama-sama Santri disebut tentaranya Kiyai untuk menghadapi penjajah.

Penguasaan terhadap Jawara sama artinya dengan penguasaan terhadap bidang-bidang ekonomi, politik, dan bahkan birokrasi. Penguasaan terhadap Ulama berarti penguasaan terhadap bidang-bidang sosial dan kemasyarakatan.

Partai politik dimanfaatkan oleh Jawara dan Jawara juga dimanfaatkan partai politik tertentu. Partai politik tertentu itu kalau dulu (mungkin sekarang masih) adalah Golkar. Parpol memerlukan dukungan massa, sedangkan Jawara dipandang sebagai massa efektif, baik pada diri Jawara sendiri maupun terhadap penggalangan massa lainnya. Demikian pula Jawara perlu uang melalui pekerjaan yang menjanjikan banyak uang. Pekerjaan (uang) itu ada pada parpol sebagai kekuatan pemerintah. Untuk mendapatkan pekerjaan (uang), dilakukan penguasaan pada pemerintah melalui melalui penguasaan parpol.

Meski H.Tb.Chasan Shohib sebagai ikon Jawara di Banten sudah meninggal, tetapi Jawara sebagai fenomena dan komunitas sosial tidak akan ikut mati. Dalam kepemimpinannya pasti akan muncul figur pemimpinnya, tetapi untuk menentukan siapanya, dinamika sosial akan menyeleksinya, karena kepemimpinan seperti ini ditentukan oleh perkembangan dan dinamika sosial.

Jawara sebagai fenomena dan dinamika sosial, akan selalu ada karena ia merupakan “komunitas organik” di masyarakat. Fisik akan berbeda, simbolnya mungkin akan berubah, tetapi makna-makna tampilan fenomenanya tidak berubah. Bisa jadi orang (masyarakat) berharap mempunyai pemimpin yang berhati ulama (cerdas, arif, bijak) dan sekaligus bersikap dan bertindak jawara (tegas, berani, dan cepat). Ada juga orang berharap punya pemimpin yang ulama sekaligus jawara, atau sebaliknya, sehingga yang demikian itulah sebagai tipe pemimpin ideal.

Jika Jawara kembali pada akar sejarahnya, maka ia menjadi ideal. Tetapi jika terjebak menjadi objek yang dipermainkan, maka sejarahnya berputar menyalahi arah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar