Senin, 08 Juli 2013

Reis Verhalen Indies in Rangkasbitung

Pukul 07.00 wib tanggal 03 April 2013 dimana anak-anak mahasiswa jurusan pendidikan sejarah sekolah tinggi keguruan dan ilmu pendidikan setia budhi rangkasbitung melakukan kegiatan yang sifatnya wajib yaitu mengelilingi kota rangkasbitung dan mencari tahu tentang peninggalan-peninggalan bersejarah yang berupa gedung-gedung peninggalan belanda. Maka dari itu kegiatan ini diberi nama dengan Indies In Rangkasbitung.

Pagi itu rencannya seluruh mahasiswa dipusatkan di sekitaran jalan sunan kali jaga.teapatnya di depan tempat peribadatan umat kristiani yaitu Gereja Keristen Pasundan Rangkasbitung. Namun ternyata hanya empat mahasiswa saja yang bisa ikut dalam acara ini. Tapi walaupun hanya empat mahasiswa tidak menyurutkan semangat kegiatan ini.

Bermulakan di Gereja Keristen Pasundan Rangkasbitung, saya beserta ketiga teman dan satu dosen pengampu kita memulai kegiatan ini. Yang pertama saya ambil atau abadikan dalam kegiatan ini adalah memfoto Gereja Keristen Pasundan Rangkasbitung.


Gereja Pasundan Rangkasbitung ini mempunyai sejarah dalam perkembangan di rangkasbitung. Terbukti yang kini masih berdiri gereja ini, yang dulu sempat bertolak belakang dengan warga disekitaran gereja itu. Namun melalui missionarisnya, para umat kristen tetap terus menjalankan penyebarannya agamanya melalui gereja ini. Disamping itu juga, untuk banten sendiri gereja pasudan sudah berdiri sejak lama kurang lebih sekitar tahun 1894.

Dari situ mulailah missionaris menyebar kemana-kemana termasuk ke rangkasbitung. Alasannya kenapa gereja ini harus ada di rangkasbitung, dikarenakan pada saat itu pengikut kristiani yang makin bertambah dan penyebaran injil di rangkasbitung.

Tak hanya gereja pasundan yang berdiri di kawasan sunan kali jaga, melainkan gereja bethel indonesia pun ada.

Gereja bethel indonesia yang pada saat itu, pada tahun 1958 jamaat gereja bethel sendiri masih menginduk ke GBI yang ada di jakarta. Jadi setiap kebaktian atau yang berkaitan dengan kegerajaan para jemaat selalu ke jakarta. Mungkin untuk memudahkan itu, dibangunlah sebuah gereja bethel indonesia di rangkasbitung. Tepatnya di jalan sunan kali jaga rangkasbitung. Tak jauh posisi gereja bethel indonesia dengan gereja keristen pasundan, leteknya bersebelahan walaupun hanya berselangkan toko-toko yang menghalangi.

Melanjutkan perjalanan saya berserta teman-teman yang lainnya, akhirnya kami dipertemukan dengan persimpangan empat. Dimana persimpangan ini selalu dipadati kendaraan yang berlalu lalang melintasi jalan ini.

Persimpangan ini, orang rangkasbitung sering menyebutnya dengan perapatan kampung jeruk. Persimpangan ini adalah pertemuan antara arah dari jalan sunan kali jaga, perlintasan kereta api, pintu keluar orang-orang kampung jeruk atau muhara, para pengendara dari arah kadu agung menuju alun-alun rangkasbitung atau serimg disebut dengan jalan multatuli begitu pun arah sebalik.

Jadi, persimpangan empat ini tak ayal selalu dipadati oleh para pengendara baik itu di pagi hari, siang hari dan menjelang malam. Apalagi dilalui dengan hari kerja, makin sembraut saja persimpangan jalan ini. Sekali pun di dekat persimpangan ini sudah didirikan Pos Polantas, tapi kemacetan kerap saja terjadi.

Melakukan perjalan dari arah jalan sunan kali jaga menuju persimpangan empat, mata saya pun langsung menengok ke sebelah kanan. Disitu saya melihat dua jembatan penyebarangan.

Jembatan itu menjadi daya tarik tersendiri dalam kegiatan ini. Jembatan yang di fungsikan sebagai penyeberangan khalayak ramai juga di fungsikan sebagai jalur perlintasan penyeberangan kereta api yang mempunyai rute angkut ke Merak Banten.
 
Mengenai tahun, kapan berdirinya kedua jembatan itu saya belum bisa memastikannya kapan. Dikarenakan tidak ada angka tahun tentang kesejarahan mengenai kedua jembatan itu. Jembatan ini terbentang di aliran sungai ciujung yang menyatukan dua wilayah yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, jembatan ini sering disebut dengan jembatan dua ciujung.

Melanjutkan perjalan, akhirnya saya beserta ketiga teman berbalik arah menuju jalan multatuli. Jalan menuju pusat pemerintahan kabupaten lebak dan pusat keramaian kota rangkasbitung itu sendiri.

Dahulunya, jalan multatuli hanya jalan kecil yang kapasitas dilaluinya hanya dua kendaraan atau becak-becak asal jawa yang menjamur di rangkasbitung saja. Namun, setelah program pemerintah yang dijalankan mengenai penataan kota yang indah, akhirnya jalan multatuli disulap menjadi jalur lintas yang indah dan jalur menuju pusat kota.
Pembangunan dimana-mana dilakukan oleh pemerintah kabupaten lebak demi mempercantik kotanya sendiri, agar para wisatawan yang singgah ke kota ini akan menjadi betah dan membawa wisatawan yang lainnya datang ke kabupaten lebak.

Jalan multatuli itu sendiri diambil dari seorang asisten residen lebak pada zaman pemerintahan belanda, yakni Max Havelar yang mempunyai jasa memperjuangkan hak-hak rakyat yang tertindas oleh pemerintah belanda maupun pemeerintah lebak sendiri.

Masih tetap dilintasan multatuli, banyak bangunan-bangunan bekas peninggalan belanda yang diubah fungsikan sebagai kantor-kantor pemerintahan, sekolahan, dan kosong sama sekali tak berpenghuni.
Bangunan tua disekitaran jalan multatuli


 
Rangkasbitung Spoor Wegent Complec (Perumahan Karyawan PJKA) didirikan tahun 1902

Para karyawan PJKA diberi fasilitas rumah, agar para karyawan lebih mudah akses dalam bekerjanya, tidak hanya zaman sekarang saja para karyawan diberikan fasilitas oleh tempat ia bekerja, zaman dahulu saja sudah diperhatikan hal yang semacam ini. Akan tetapi, rumah-rumah ini sudah dialih fungsikan, ada yang dijadikan sebagai perpustakaan mini yang mungkin para pembacanya hanya warga sekitar saja yang simpatik dengan membaca dan ada pula dijadikan sebagai tempat meneduh atau pun beristirahan para pegawai-pegawai didekat kawasan tersebut.Setelah dari situ, saya melanjutkan perjalanan menuju lokasi selanjutnya. Namun di persimpangan jalan. Saya mempotret salah satu sekolah yang konon katanya masih termasuk peninggalan belanda.
SMP Negeri 1 pada awal berdirinya menempati sebuah bangunan tua yang dibangun pada jaman penjajahan Belanda. Bangunan tersebut pada saat itu digunakan untuk sekolahnya orang-orang Eropa yang bekerja di Pemerintahan Belanda yang berada di Rangkasbitung.
Sekolah itu dikenal dengan Europeesche Lagere School (ELS) atau disebut sebagai sekolah rendah pada waktu itu.

Melanjukan perjalanan dari SMP N 1 Rangkasbitung kami melanjutkan perjalanan. Masih di bilangan Jalan Multatuli, saya melihat sekolahan yang tampak bangunannya seperti bangunan peninggalan Belanda. Berhubung perjalanan ini mengangkat tentang bangunan peninggalan-peninggalan Belanda, maka saya pun memotret kembali bangunan sekolah yang masih dipergunankan itu. Sekolah itu bernamakan SMP N 7 Rangkasbitung.
Asal mula dari SMP ini adalah salah satu unit sekolah diantara sekolah lainnya yang letaknya strategis di dekat pusat Otonomi Daerah. SMP Negeri 7 Rangkasbitung merupakan alih fungsi dari Sekolah Teknik Menjadi SMP pada Tahun 1994,dimana St juga merupoakan alih fungsi dari Sekolah Kerajinan Negeri (SKN) tahun 1964. Struktur organisasi dan pengembangan akademik Standar Pelayanan Minimal Lembaga Pendidikan yang diatur melalui Undang – Uindang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 SMP Negeri 7 Rangkasbitung sesuai harapan dari alih Fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional pada Jenjang SMP.

Dari sebarang gedung SMP N 1 Rangkasbitung, terdapat bangunan yang menurut saya mempunyai niai sejarah, gedung itu adalah Gedung Juang 45 Rangkasbitung. Dari kontur bangunan yang unik dan memiliki arti dalam kesejarahan Kabupaten Lebak.
Gedung Juang 45 Pamitran Kabupaten Lebak mempunyai sejarah yang berarti untuk warga Lebak, khususnya Kota Rangkasbiung. Dimana Gedung Juang 45 ini dahulunya dijadikan sebagai markas kampetai, ketika perseteruan rakyat Banten dengan Jepang.

Gedung yang dijadikan pusat gerakan oleh para rakyat Lebak dalam penyatuan ide dan rencana strategi penyerangan ke tentara Jepang, yang akhirnya terjadi peperangan di kawasan Rangkasbitung ketika hendak menuju ke Serang dalam membantu pemberantasan Jepang di Banten.

Namun kini Gedung Juang 45 Pamitran di alih fungsikan sebagai Gedung Pertunjukan event-event yang di gelar oleh anak muda kabupaten lebak, tak ayal pesta pernikahan pun menggunakan gedung ini.

Selanjutnya, perjalanan ini dilanjutkan menuju kawasan lebak saninten dimana disana masih banyak bangunan-bangunan peninggalan Belanda atau pun konstruksi bangunannya mirip tipe-tipe bangunan belanda. Namun sayangnya, tak satu pun ada yang saya portet bangunan tersebut. Tapi disitu ada bangunan sekolah, yang katanya sekolah itu salah satu sekolah favorit di rangkasbitung tingkatan menengah pertama. Sekolah itu adalah SMP N 4 Rangkasbitung, sekolah ini dijadikan sekolahan favorit bagi anak-anak SD yang hendak melanjutkan ke tingkatan menengah pertama.

Letak SMP N 4 Rangkasbitung ini, letaknya persis dibelakang kantor Dinas Kesehatan. Walau pun letak sekolah ini sedikit masuk ke dalam dari jalanan protokol. Tapi tak menyurutkan semangat yang ingin masuk dan bersekolah di SMP ini.

Gambar yang ada dibawah ini adalah kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak. Dari kontruksi bangunan ini kelihatannya masih ada sisi oriental ke Belandaannya. Maka dari itu saya pribadi mendokumentasikannya walaupun pengambilannya hanya sembarangan sambil tergesa-gesa karena kepanasan mencari tempat yang agak sedikit teduh.
Di depan kantor inilah kami bertemu dengan teman-teman yang tadi pagi telat kedatangannya. Sambil senyum-senyum dan cengar-cengir lebar penuh tanpa dosa mata mereka melirik ke kami berempat yang sedang berjalan disamping kantor Dinas Kesehatan Kab. Lebak menuju jalan protokol.

Setelah keluar dari kawasan SMP N 4 Rangkasbitung, arah saya langsung berbelok kanan menuju pusat Kota Rangkasbitung yaitu alun-alun. Sebelum sampai alun-alun, distu ada bangun yang masih difungsikan sebagai Lembaga Permasyarakat (LP) Ramgkasbitung atau Rumah Tahanan (RUTAN) Rangkasbitung.
Sebelum dikenal Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) sebagai perwujudan dari diberlakukannya Sistem Pemasyarakatan tanggal 27 April 1964, sistem pemidanaan di Indonesia dikenal dengan sebutan Sistem Kepenjaraan. Sistem kepenjaraan adalah suatu system pemidanaan yang diciptakan oleh Kolonial Belanda yang menjajah Indonesia pada waktu itu. Institusi yang dikenal dalam system kepenjaraan pada waktu itu ialah Roemah Pendjara.

Bangunan Roemah Pendjara Rangkasbitung dibangun sekitar tahun 1918 dan ketika di Indonesia diberlakukan Sistem Pemasyarakatan dengan diundangkannya UU No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP dan PP No. 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan UU NO.8 tahun 1981, dikenal sebuah Institusi baru yakni Rumah Tahanan Negara.

Sebenarnya banyak di Jalan Multatuli bangunan-bangunan peninggalan Belanda, namun keberadaan bangunan tersebut sudah berubah bentuk menjadi bangunan-bangunan baru. Jadi keasliannya sudah tidak tidak ada, maka dari itu banyak yang tidak di dokumentasikan dalam perjalan ini.

Beranjak ke alun-alun rangkasbitung disitu berdiri sangat megah bangun tempat peribadatan umat Islam yakni Masjid Al-Araaf Rangkasbitung dan Rumah Sakit Adji Darmo Rangkasbitung yang tahap pembangunannya dikerjakan pada pemerintahan saat ini yaitu Bapak H. Mulyadi Jayabaya selaku Bupati Kabupaten Lebak.
Masjid ini bernama Masjid Agung Al-A’raaf Rangkasbitung, berdiri pada Tahun 1932 yang beralamatkan di Jl. Alun-alun Barat Rangkasbitung, mempunyai luas bangunan 1.632 M2 dan mempunyai kapasitas sekitar 2.500 Jama’ah, mengenai status tanahnya yaitu berstatuskan tanah wakaf (Sumber Data : Pengurus DKM; 2010).

Masjid Agung ini sejak didirikan sudah mengalami beberapa kali perubahan, baik fisik maupun penambahan luas bangunan. Yang pertama pada tahun tahun 1988 dan diresmikan pada Tahun 2002 ketika kepemimpinannya Bupati Drs. H. Yas’a Mulyadi, kemudian pemugaran yang kedua pada tahun 2004 sampai 2009 dan diresmikan oleh Bupati Bapak H. Mulyadi Jayabaya.

Masih disekitaran Alun-alun Rangkasbitung, tepat didekat Masjid Agung Al-A’raaf masih berdiri kokoh gedung bekas peninggalan Belanda yang kini dipakai oleh para legislaif daerah, yaitu Gedung DPRD Lebak.

Bangunan ini berada diwilayah Pemerintah Kabupaten Lebak tepatnya di Kampung kaum Kelurahan Muara Ciujung Barat, Kecamatan Rangkasbitung. Jarak  tempu ke tempat ini 45 km dari pusat ibu kota Propinsi Banten.
Gedung ini mempunyai luas ± 165 meter persegi bangunan ini dahulunya merupakan banguan contrakten administrate berfungsi sebagai pusat urusan administrasi penyelesaian kontrak-kontrak perkebunan di wilayah administratif Banten Selatan. Denah bangunan ini menyerupai bentuk huruf “E†dengan arah menghadap ke utara dan membujur dari barat ke timur. Denah bangunan ini berbentuk bujur sangkar dengan bentuk atap limasan bentuk jendela berbentuk empat persegi panjang. Dengan dua daun jendela lubang angin terletak diatas jendela berbentuk bujur sangkar kecil yang bersusun lima.

Disamping gedung perwakilan rakyat Kab. Lebak berdiri gedung pusat pemerintahan yang terdiri dari Pendopo, Rumah Dinas Bupati dan Kantor Pemerintahan Daerah (Aula Multatuli).
Ibu kota Kabupaten Lebak yang pertama adalah di Lebak Parahyangan. Pemindahan Ibukota Lebak Parahyangan ke Warunggunung terjadi sekitar tahun 1843. Pada tanggal 21 Maret 1851 terjadi perubahan dan secara resmi Ibu kota Kabupaten Lebak pindah dari Warunggung ke Rangkasbitung. Pemindahan ini berdasarkan SK Gubernur Jendral Belanda tanggal 17 Januari 1849 yang baru dapat dilaksanakan tertanggal 31 Maret 1851.
Disekitaran Alun-alun Rangkasbitung terdapat bangunan-bangunan beralakan bangunan Belanda, diantaranya Rumah Sakit Adji Darmo, Rumah Multatuli yang letaknya di belakang bangunan baru Rumah Sakit Adji Darmo, Wedana Rangkasbitung, Kantor KPU Lebak, Kantor Pengadilan Negeri Rangkasbitung Ruang Sidang Anak dan Mediasi, Kantor Kejaksaan Negeri, SDN Kejaksaan.

Selain dari pada itu juga masih banyak lagi bangunan-bangunan peninggalan Belanda, namun semuanya sudah berubah menjadi bangunan-bangunan baru. Tapi ciri khas dari kontruksi dari bangunan Belanda masih ada ketika kami berkunjung ke rumah Ibu Kania yaitu Rumah H. M. Soetadisastra, tepat disebelahnya terdapat Makam Pahlawan yang bentuk bangunannya seperti bangunan ala Belanda.

Melanjutkan perjalanan, kami langsung menuju ke Stasiun Rangkasbitung. Dimana Stasiun Rangkasbitung menjadi saksi Presiden Soekarno melangkahkan kakinya ke Rangkasbitung melalui jalur kereta api dan berhenti di Statsiun Rangkasbitung.

Selesai sudah cerita perjalanan saya dalam menepak Indies di Rangkasbitung, banyak hal yang baru dalam perjalanan ini dan hal yang tidak tahu menjadi tahu tentang peninggalan-peninggalan sejarah yang ada Kabupaten Lebak khususnya di Rangkasbitung.

Catatan :
Hasil dokumentasi Reis Verhalen in Rangkasbitung diambil menggunakan dengan kamera ponsel type 2700C


1 komentar:

  1. halo, saya baru baca blog mu bagus bgt yah ada kegiatan seperti ini, kalau boleh tau dari bangunan" yang di datangi/difoto apakah smua nya sudah termasuk cagar budaya? jika belum smua yang mana ya yg belum jd cagar budaya? terimakasih :))

    BalasHapus